Friday, November 26, 2010

KIKA KE SEKOLAH

Aku memutuskan untuk memilih hari Rabu sebagai hari pertama sekolah Kika. Meski sudah tiga hari yang lalu gadis kecil itu dengan semangat menanggukkan kepala tiap kali kutanyakan tentang sekolah kepadanya. Namun baru hari ini aku merasa yakin untuk memulai sekolah untuk Kika.

Sebenarnya mbah putri telah mendorongku untuk menyekolahkan Kika sejak setengah tahun yang lalu. Namun, aku selalu menolaknya dengan alasan belum cukup umur. Bagaimanapun pengalaman menyekolahkan si sulung Caca ketika ia belum genap berusia satu tahun menjadi pengalaman berharga bagiku. Ketika itu, caca yang sudah fasih berkata-kata memang memiliki kemampuan untuk lebih mudah menirukan kalimat-kalimat yang diucapkan oleh orang-orang di sekitarnya. Sehingga hari pertama sekolah merupakan hari yang membanggakan bagi Caca. Lagu-agu yang diajarkan sudah dihafalnya luar kepala. Dengan pelafalan yang hampir sempurna. Hanya huruf R dan S saja yang belum bisa diejanya sebagaimana seharusnya. Namun, meski secara skill Caca mampu mengikuti apa yang diajarkan di sekolah, namun dalam catatanku, secara emosional Caca belum siap. Hal ini amat terasa ketika pada usia 3,5 tahun Caca masuk TK. Perkembangan emosional Caca amat berbeda dengan teman-teman sekelasnya. Karenanya, Caca kuputuskan untuk menghabiskan 3 tahun usianya di TK. Keputusan itu kuambil setelah banyak berkonsultasi dengan guru-gurunya di TK, maupun calon gurunya di SD.

Kondisi ini amat bereda dengan perkembangan Kika. Hingga mendekati usia tiga tahun, belum banyak kata yang bisa diucapkan dengan semestinya. Setiap kata yang berawalan konsonan hampir selalu hilang dalam pelafalan Kika. Semisal kata pulang, menjadi u’ang, Mandi menjadi andi. Keadaan ini juga menjadi perhatiaanku. Aku tak ingin hari pertama sekolah Kika menjadi hari yang terkesan buruk di hatinya. Dalam keseharian, Kika sering marah jika orang yang dimaksud tidak juga faham terhadap ucapannya. Aku berfikir, bagaimana jika guru atau temen-temen Kika tidak faham terhadap apa yang dimaksud oleh gadis kecil itu, apakah ini tidak membuat Kika pada akhirnya malas sekolah?

Berbagai hal tentang Kika membuatku selalu berfikir ulang mengenai kapan tepatnya Kika mesti sekolah. Sebenarnya, temen-temen seumuran Kika juga banyak yang belum bisa mengeja dengan sempurna. Caca saja yang tergolong cepat, sehingga kadang-kadang orang membandingkan keduanya dan membuat Kika terkesan terlambat perkembangannya. Namun bagiku keduanya adalah anugrah yang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dan aku tetap bangga terhadap dua buah hatiku itu.
Namun, sungguh mengejutkan ketika akhirnya aku memutuskan sekolah untuk Kika.

“Besok adik jadi sekolah?” Tanyaku pada malam harinya sebelum Kika beranjak tidur.

Dan gadis kecil itu mengangguk cepat. Paginya, begitu Kika membuka matanya, aku mengulangi pertanyaan yang sama, dan lagi-lagi ia mengangguk mantap.

Begitulah, sebelum berangkat Kika mandi cepat-cepat. Ini tentu berbeda dengan hari-hari biasanya. Setelah berdandan rapi, si kecil bermata sipit itu meminta dua buku tulis dan dua pensil di masukkan ke dalam tasnya. Sambil menunggu mbak yang mengantarkannya sarapan, Kika bergaya membaca buku cerita. Yang tentu saja dengan bacaan yang gak karuan huruf dan kalimatnya. Sebab kika hanya pura-pura membaca. Hehe…

Alhamdulillah, hari pertama dilalui dengan sukses. Hari ini, tepatnya pada usia tiga tahun kurang tiga bulan, Kika pertama masuk sekolah di Play Group di kampong kami. Slamat ya.. dek ayu… semoga hari-hari selanjutnya semakin menyenangkan dan bertambah-tambah pengetahuan dan pengalamanmu. Amin. Love you so much..

Saturday, November 13, 2010

LEK FAR…OH, LEK FAR..!!

Para tetangga memanggilnya lek Far. Entah, aku juga tak tahu persis siapa nama lengkapnya. Rumah Lek Far hanya berjarak satu rumah di belakang rumahku. Perawakannya tidak begitu tinggi. Berkulit putih. Tubuhnya lumayan gemuk, khas perawakan ibu-ibu di kampungku. Serasa tak ada yang istimewa. Tapi beberapa hari yang lalu, nama Lek Far tiba-tiba menjadi isu hangat di kampungku. Setiap orang membincangkannya. Mulai dari tetangga dekat, ketua PKK hingga di acara rutinan desa dan rumpian ibu-ibu tetangga. Semua seolah kompak mengangkat satu tema: Lek Far.

Ya.. sehari sebelumnya lek Far wafat. Perempuan yang masih terbilang muda usia dan memiliki tiga orang anak itu meninggal akibat gagal ginjal, paru-paru dan beberapa penyakit lainnya. Menurut saudara dekat yang menyertai detik-detik terakhir hidupnya, kondisi ginjal lek Far sudah demikian parah hingga akhirnya merenggut hidupnya.

“Wong kata pak dokter ginjalnya udah hancur kok mbak.” Ujar seorang kerabat dekatnya dengan wajah prihatin. Aku begidik mendengarnya.

Dan malam itu, aku tak bisa memicingkan mata. Senyum renyah Lek Far yang selalu terasa akrab menyapa bila aku melintas di depan rumahnya seakan tak henti berkelebat di benakku. Memang benar, tak ada yang menyangka perempuan sesegar itu ternyata ditimpa penyakit demikian parah.

Sebenarnya sudah sejak lama Lek Far mengeluh dadanya terasa sesak. Beberapa kali memeriksakan diri ke dokter dan rotgent, akhirnya dokter menyatakan Lek Far terkena penyakit paru-paru. Namun anehnya, setiap kali habis mengkonsumsi obat dari resep dokter itu, Lek Far mengeluh tubuhnya terasa lemah dan lesu. Setelah kembali mengkonsultasikan pada dokter langganannya, sang dokter memberinya obat mag karena menurut pak dokter lambung Lek Far tak kuat dengan obat paru-paru itu. Bolak-balik ke dokter tanpa perubahan signifikan pada sakit yang dideritanya, akhirnya Lek Far memutuskan mengkonsumsi jamu atau obat-obatan tradisional untuk mengatasi rasa sakit yang dirasakannya.

Anehnya, tiap kali Lek Far memiliki obat tradisional baru dan saudara dekatnya menanyakan tentang obat itu, Lek Far selalu menjawab bahwa dia tak sakit apa-apa. Hanya ingin mengecilkan perut gendutnya saja, demikian Lek Far selalu beralasan.
Nyatanya kian hari ginjalnya makin parah. Dan Lek Far bukan orang yang gemar mengeluh pada siapapun mengenai sakit yang dirasakannya. Mungkin sekalipun itu pada suaminya sendiri. Hingga sore itu Lek Far merasa tak kuat lagi menyembunyikan deritanya. Lek Far mengeluh minta dibawa ke rumah sakit.

“Aku udah gak kuat lagi.”

Demikian keluhnya berulang kali. Akhirnya Lek Far dirawat di Rumah sakit. Celakanya setelah dokter melakukan check up, baru diketahui bahwa sumber dari semua sakit yang dirasakannya adalah penyakit gagal ginjal. Dan melihat kondisi ginjalnya yang sudah sedemikian parahnya, menurut dokter penyakit itu tentu sudah diidapnya sekian lama. Memang Lek Far punya penyakit paru-paru. Tapi kondisinya tak separah ginjal yang dideritanya.

Hingga sore itu Tuhan menyukupkan deritanya dan mengambil nyawanya. Semua menangis, kecuali si bungsu yang masih berusia lima tahun dan tak begitu faham apa yang sebenarnya terjadi.

Dan itulah takdir bagi Lek Far. Alloh menyukupkan umurnya hingga hari itu melalui menyakit ginjal yang dideritanya. Tapi tentu tak mudah menerima kenyataan itu sebagai takdir semata. Buktiya seisi kampung seolah malah mengadili suami Lek Far sebagai biang keladi bagi semua kesengsaraan yang dirasakan oleh istrinya. Menurut para kerabat dan tetangga, penyakit ginjal itu menjadi demikian parah tanpa terdeteksi sebelumnya karena Lek Far selalu takut pada suaminya tiap kali merasakan ketidakberesan pada perut dan pinggangnya. Lek Far selalu takut menuntaskan pengobatan penyakitnya karena takut terhadap suaminya. Menurut para tetangga, suaminya memang selalu terlihat acuh atas derita istrinya itu. Jika Lek Far terlihat pucat dan kerabatnya menanyakan tentang kondisi sang istri, suami Lek Far hanya menjawab bahwa istrinya sedang kedinginan sehabis mencuci pakaiannya dan pakaian milik anak-anaknya.

Mendengarkan rerasan tetangga, aku hanya bisa mengangguk-angguk tanpa tahu mesti berbuat apa. Sebab, aku merasa tak pernah tahu kenyataan yang sebenarnya. Apakah benar demikian jahat perilaku suami Lek Far. Atau mungkin para tetangga saja yang sedang terbawa suasana sehingga mencoba mencari kambing hitam atas sebuah peristiwa.

Entahlah.. yang jelas, sungguh tak elok mengadili suami Lek Far di tengah kepedihan yang dideritanya. Ditinggalkan seorang istri dengan menanggung beban tiga orang anak yang biasanya dirawat bersama tentu bukanlah hal mudah. Apalagi jika harus ditambah rasa bersalah yang tak berkesudahan jika apa yang dituduhkan adalah sebuah fakta. Belum lagi derita apalagi yang mesti ditanggung oleh anak-anak Lek Far jika mereka menyangka bapaknyalah yang bertanggungjawab atas kematian ibunya.

Sungguh, bukan saat yang tepat rasanya mengadili suami Lek Far tanpa bukti dan saksi yang bisa diyakini kebenarannya itu..

Akhirnya semoga Alloh mengasihi Lek Far dan keluarganya. Semoga dosa-dosanya diampuni dan amal ibadahnya diterima. Dan semoga keluarganya diberi ketabahan dan kemudahan. Amin ya Robbal ‘alamin…..