Tuesday, November 13, 2007

SELAMAT JALAN CALON JAMAAH HAJI INDONESIA

Musim Haji datang lagi. Sudah menjadi kebiasaan dalam keluarga kami mengunjungi keluaga yang hendak menunaikan ibadah haji. Di akhir bulan syawal ini mama caca juga menyempatkan diri mengunjungi beberapa sodara yang hendak berangkat haji. Dengan tujuan mempererat silaturrahim, mendoakan kelancaran ibadah hajinya serta minta ikut didoakan di tempat-tempat mustajab jika sudah sampai di tanah suci nanti.

Dulu mama caca gak begitu peduli dengan tradisi yang satu ini. Bagi mama caca, mengunjungi sodara yang hendak pergi ke tanah suci bukan sesuatu yang mesti mendapat perhatian khusus. Tapi belakangan mama caca berubah pikiran. Setelah mama caca merasakan sendiri besarnya perhatian para sodara dan tetangga ketika mama caca hendak berangkat haji. Ternyata tradisi mengunjungi para calon jama’ah haji memang bukan sekedar gaya-gayaan. Namun ada kearifan lokal di sana. Bagaimana masing-masing pihak –calon jama’ah dan para tamunya- saling memberikan motivasi dan sharing pengalaman. Dan bagi mama caca motivasi dan bagi-bagi pengalaman yang dilakukan cukup memberikan kekuatan positif bagi jama’ah yang hendak berangkat.

Haji memang bukan ibadah yang ringan. Tidak sebagaimana syahadat, sholat, puasa ato zakat. Dalam haji Alloh menggarisbawahi “Bagi yang mampu”. Baik mampu secara fisik, finansial maupun dari segi keamanan. Nyatanya memang dibutuhkan tekad yang kuat bagi yang hendak melakoninya. Disamping dibutuhkan biaya yang tak sedikit, -dari mulai biaya resmi ataupun yang gak resmi- juga amat penting memelihara kesehatan fisik, kesabaran, rasa rendah hati dan tawakkal.

Ada banyak cerita seputar perjalanan ibadah haji. Dulu mama caca pun pernah menuliskannya. Tentang calo Hajar Aswad ataupun tentang julukan Siti Rahmah bagi perempuan Indonesia. Namun ada catatan lain yang ingin mama caca ceritakan kali ini.

Ketika hendak berangkat haji, terus terang, ada rasa bimbang di benak mama caca. Sudah layakkah menjadi tamu Alloh saat ini. Saat itu rasa malu kerapkali memenuhi hati. Benarkah Alloh menghendaki hambanya yang penuh dosa ini menjadi tamu-Nya?? Tapi lagi-lagi mama caca mencoba mengatasi keresahan itu dengan membaca lagi firman-Nya, bahwa Alloh mencintai makhluknya yang berprasangka baik terhadap qodlo’ dan qodar-Nya. Dan kepasrahan itu datang dengan perlahan.

Alloh Maha Besar. Selama di tanah suci, justru banya kemudahan yang mama caca rasakan. Disaat para jama’ah lain sibuk mengatur uang saku untuk keperluan makan selama di Makkah, mama caca dan rombongan justru bertempat di maktab yang dimiliki oleh seorang syeikh yang memberikan shodaqoh berupa makan gratis sehari tiga kali bagi setiap jama’ah haji yang tinggal di hotelnya. Alhamdulillah, Siapa yang bisa menyangka akan mendapatkan rezeki sebesar itu. Bisa menghabiskan waktu di kota tempat ka’bah didirikan tanpa perlu memikirkan kebutuhan belanja dan masak untuk makan dan minum sehari-hari.

Belum lagi ketika musim kelaparan di Arofah dan Mina –yang konon menjadi berita besar di koran-koran Indonesia- Saat itu mama caca justru merasa cukup. Sebab ketika jama’ah hendak berangkat ke mina, mama caca berangkat dengan membawa makanan cukup. Seperti roti, susu, mie instan, madu dan pisang. Padahal saat itu sudah diperingatkan oleh petugas untuk tidak membawa bekal makanan, hingga banyak dari jama’ah haji yang tak membawa bekal makanan apapun sesampainya di Arafah. Tapi mama dan abah caca tetap memilih mengikuti kata hati. “Siapa tahu makanan yang disediakan pihak catering tak cocok dilidah.” Begitu pikir mama caca. Tapi semuanya adalah rizki. Tak perlu sombong atau tinggi hati. Justru saat seperti itu adalah waktu yang tepat untuk intropeksi. Betapa Allah telah amat sayang kepada kita. Sudahkah amal perbuatan kita layak mendapatkan penghormatan serupa. Astaghfirullohal‘adzim...

Dan begitulah, mungkin benar kata ulama, bahwa padang Arofah adalah cermin kecil padang maghsyar. Saat itu, orang seperti tidak bisa menipu diri atas kebiasaannya sehari-hari. Ketika segala hal menjadi terbatas, orang yang terbiasa berdzikir akan tetap berucap kalimat-kalimat thoyyibah. Tapi bagi yang terbiasa mengumpat, mengejek dan menyakiti orang lain juga akan melakukan hal yang sama. Padahal Cuma dalam hitungan jam kita diuji. Entahlah, bagimana laku kita di padang maghsyar nanati. Wallahu a’lam...

Saturday, November 10, 2007

BERBINCANG TENTANG SIRIKIT SYAH

Sirikit Syah, sebuah nama yang tak asing bagi penikmat karya sastra. Mungkin baru dua buah buku kumpulan cerpennya yang terbit. Tapi siapa yang bisa menolak pesona cerita-cerita yang disuguhkannya?

Mama caca mengenal karya sastrawan perempuan ini kurang lebih delapan tahun yang lalu. Ketika itu mama caca masih berstatus mahasiswi baru. Mama caca memang bisa dibilang pecinta karya sastra. Setiap buku baru tak kan rela mama caca lewatkan tanpa membacanya. Segala cara akan mama caca tempuh agar buku-buku itu bisa terbaca. Entah dengan membeli atau pinjam pada teman. Pokoknya kudu bisa ikut baca.

Hingga sehari sebelum caca lahir, boleh dibilang semangat membaca mama caca belum mati. Bahkan, ketika hamil pertama dulu, mama caca hampir menghabiskan separo hari di perpustakaan Monash University. Ketika abah caca sibuk dengan tugas-tugasnya, mama caca juga sibuk menikmati buku-buku gratis yang tak mungkin bisa dilahap seleluasa itu jika sudah balek ke negeri sendiri. Meski setelah caca lahir, daya konsentrasi dan hobi membaca sudah tak lagi sekuat dulu.

Kegemaran melahap karya sastra memang masih berlanjut hingga kini. Kemarin, ketika jalan-jalan ke Gramedia, mata mama caca kembali tertumbuk pada nama Sirikit Sah. Mungkin memang bukan buku baru. Tapi bukankah yang disebut baru bisa juga berarti sesuatu yang “Baru” ditemukan. Dan kali ini mama caca memang merasa baru menemukan karya baru itu. Judulnya Sensasi Selebriti. Ini adalah kumpulan cerpen Sirikit yang kedua. Maklum, diantara hobi menulisnya, perempuan yang berdomisili di kota pahlawan itu juga berprofesi sebagai pendidik, jurnalis dan peneliti. Tapi sungguh, meski baru dua kali menerbitkan kumpulan cerpennya, karya Sirikit tak bisa dibilang cela. Selalu ada kesan tersendiri setiap kali membaca kisah-kisahnya.

Harga Perempuan adalah judul pertama kumpulan cerpen milik Sirikit Syah. Pengarang perempuan yang –konon- namanya terilhami oleh kedatangan Ratu Sirikit ke Surabaya saat pengarang itu lahir. Dari sekian cerpen yang tertulis dalam Harga Perempuan, ada dua judul cerpen yang –terus terang- masih terus terngiang di benak mama caca. Pertama adalah cerpen yang berjudul Wanita Kedua. Cerpen ini bercerita tentang seorang perempuan yang berposisi sebagai istri kedua. Pilihan yang dilakoni sama sekali bukan lantaran kegenitan atau kesilauannya untuk hidup enak. Tapi semata karena keadaan yang memaksanya memilih posisi itu. Dalam Wanita Kedua, Sirikit memang terbilang lihai membuat suspen. Pembaca terkejut saat diakhir cerita, putri sang tokoh pun memilih melakoni hidup yang tak jauh beda dengannya. Mencintai laki-laki yang tak mampu meninggalkan istri dan keluarganya.

Sedangkan yang kedua adalah cerpen berjudul Perempuan Suamiku. Dalam cerpen ini Sirikit berkisah tentang seorang perempuan cantik, menarik, cerdas, kaya, sukses dan modis tentu saja. Perempuan sempuarna ala sinetron kita. Namun dia seolah ditampar kotoran ketika mendapati bahwa dia harus berbagi suami dengan seorang seniman perempuan yang sama sekali tak lebih muda, tak lebih cantik bahkan tak lebih rapi dan wangi dibanding dirinya.

Cara Sirikit berkisah memang tak biasa. Selalu ada keputusan yang mengambang di akhir cerita. Seolah pembaca dibiarkan melanjutkan imajinasinya. Tanpa mencampuri keputusan apa yang mesti diambil oleh pembaca jika mereka mengalami kejadian yang sama dengan tokoh yang dituliskannya. Dan dua cerpen itu ternyata juga bisa kembali mama caca dapati di kumpulan cerpennya yang kedua.

Ada kisah tersendiri yang mama caca alami berkaitan dengan cerpen Perempuan Suamiku itu. Ketika itu mama caca masih jadi mahasiswi yang mondok di Krapyak. Teman-teman satu kamar semua baca Harga Perempuan dengan bergantian. Lumayan kan, yang beli satu orang, tapi semua penghuni kamar yang berjumlah enam orang bisa ikut menikmatinya. Suatu hari kita berenam mengikuti sebuah acara budaya yang digelar oleh seniman-seniman Jogja di Parang Kusumo. Acara di buka dengan orasi budaya oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X. Ketika itu, tiba-tiba mata mama caca tertumbuk pada sesosok perempuan yang sedang duduk bergerombol dengan para seniman lain. Penampilannya cuek, seadanya. Wajahnya agak pucat tanpa make up. Dia duduk sambil menyelonjorkan kakinya. Perempuan itu terlihat cuek dengan kondisi di sekelilingnya. Matanya menerawang melihat angkasa sambil menghisap perlahan rokok yang terselip di bibirnya. Ketika itu, mama caca langsung berbisik pada teman-teman serombongan, “Mungkin, perempuan seperti itu yang ditemui Sirikit ketika menuliskan cerpen Perempuan Suamiku.” Ujar mama caca yang segera diamini oleh yang lain. Ya... Mungkin saja. Siapa tahu...